Rabu, 25 Januari 2012

Model Pengelolaan Sampah di Indonesia

Model pengolahan sampah di Indonesia ada dua macam, yaitu urugan dan tumpukan. Model pertama merupakan cara yang paling sederhana, yaitu sampah dibuang di lembah atau cekungan tanpa memberikan perlakuan. Urugan atau model buang dan pergi ini bisa saja dilakukan pada lokasi yang tepat, yaitu bila tidak ada pemukiman di bawahnya, tidak menimbulkan polusi udara, polusi pada air sungai, longsor, atau estetika. Model ini umumnya dilakukan untuk suatu kota yang volume sampahnya tidak begitu besar.
Pengolahan sampah yang kedua lebih maju dari cara urugan, yaitu tumpukan. Model ini bila dilaksanakan secara lengkap sebenarnya sama dengan teknologi aerobik. Hanya saja tumpukan perlu dilengkapi dengan unit saluran air buangan, pengolahan air buangan (leachate), dan pembakaran ekses gas metan (flare). Model yang lengkap ini telah memenuhi prasyarat kesehatan lingkungan. Model seperti ini banyak diterapkan di kota-kota besar. Namun, sayangnya model tumpukan ini umumnya tidak lengkap, tergantung dari kondisi keuangan dan kepedulian pejabat daerah setempat akan kesehatan lingkungan dan masyarakat. Aplikasinya ada yang terbatas pada tumpukan saja atau tumpukan yang dilengkapi saluran air buangan, jarang yang membangun unit pengolah air buangan. Meskipun demikian, ada suatu daerah yang mengelolanya dengan kreatif. Berikut ini beberapa model pengolahan sampah di beberapa kota di Jawa.

1.        DKI Jakarta (Bantar Gebang)
Pengolahan sampah DKI Jakarta di Bantar Gebang telah didirikan sejak tahun 1986. Lokasi lahan di Kabupaten Bekasi dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta membayar tipping fee kepada Pemda Bekasi sebesar Rp 60 juta per ton sampah. TPA Bantar Gebang dikelola dengan penerapan sistem tumpukan yang dilengkapi dengan IPAS (Instalasi Pengolahan Air Sampah) dan sistem drainage. Sistem drainage ini untuk menampung air buangan atau lindi hitam (leachate) ke dalam IPAS dan membuangnya ke sungai terdekat.
Sistem IPAS menggunakan activated sludge system, yaitu danau yang diberi aerasi dengan agitator (pengaduk bertenaga besar). Operasional IPAS dan kebersihan drainage perlu dikontrol dengan baik setiap hari agar tidak terjadi klaim dari masyarakat tentang kualitas air buangan. Demikian juga jalan yang dilalui truk perlu dijaga kebersihan dari tetesan air yang keluar dari truk dan sampah yang berserakan sepanjang jalan tersebut. Tujuannya agar terhindar dari bau, pemandangan yang tidak sedap, serta muncul­nya penyakit yang berhubungan dengan kesehatan kulit dan paru-­paru. Namun, pada kenyataannya, pada tahun 2005 penduduk di sekitar TPA terserang penyakit dermatitis sebanyak 2.710 orang.
Pembakaran gas metan juga dilakukan pada beberapa timbunan meskipun tidak tertata baik. Pemisahan material anorganik dilakukan oleh pemulung yang jumlahnya puluhan orang serta sudah merupakan kegiatan sosial-ekonomi tersendiri dan melibatkan bisnis yang nilainya cukup besar. Meskipun model ini sangat minimal, tetapi terbukti efektif dan telah menolong masyarakat DKI Jakarta dalam mengatasi masalah sampah.
Permasalahan sampah di DKI Jakarta saat ini adalah volume sampah yang sudah tidak bisa ditampung lagi oleh areal yang ada. Perluasan areal ke daerah lain, terutama lintas provinsi tidak akan memecahkan persoalan, tetapi hanya akan memindahkan persoalan. Dengan pendekatan ilmiah diharapkan akan ada jalan keluar yang lebih arif dan efektif.

2.        Surabaya (Sukolilo)
Model TPA di Surabaya persis sama dengan DKI Jakarta. Sekitar tahun 1980-an TPA Sukolilo diprotes oleh masyarakat setempat karena menimbulkan polusi bau, padahal masyarakat datang ke lokasi setelah TPA tersebut berjalan beberapa tahun. Namun, hal ini tidak bisa diabaikan karena masalah sosial bagian dari masalah sampah kota. Sebagai jalan keluar, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya selanjutnya mengimpor 1 (satu) unit incinerator (pembakar) sampah dari Inggris. Ternyata, alat tersebut tidak efektif karena biaya pembakaran sangat besar dan polusi bau berubah menjadi asap dan debu, bahkan partikulat.
Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi (>80%) sehingga sebagian besar energi yang digunakan untuk membakar (minyak residu) adalah untuk menguapkan air. Hal tersebut mengakibatkan biaya operasional alat tersebut menjadi sangat tinggi. Solusinya adalah TPA dipin­dahkan lokasinya ke daerah pantai di wilayah kabupaten Sidoardjo. Masalah yang mungkin timbul di TPA baru ini adalah salinitas yang bisa menghambat efektivitas kerja mikroba. Selain itu, air buangan (leachate) dari sampah akan mengotori perairan/perikanan karena jaraknya yang terlalu dekat. Semua kelemahan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan pendekatan teknologi asal memungkinkan biayanya. Aplikasi incinerator di Indonesia kurang sesuai karena kadar air sampah sangat tinggi.

3.        Solo (Mojosongo)
Pengolahan sampah di Kota Solo perlu dibahas secara khusus karena cukup menarik. Model pengolahan adalah cara tumpukan seperti di daerah lain. Kelebihannya adalah sampah pada gundukan yang telah menjadi kompos dibagi-bagikan secara gratis kepada masyarakat. Masyarakat menyaring kompos dari bahan organik yang tidak terurai serta kotoran kasar, kemudian dijual. Dengan cara ini ada sistem input dan sistem output sehingga luasan areal TPA untuk timbunan sampah akan lebih lama penuh karena output berupa kompos selalu keluar dari areal tersebut.
Masyarakat sekitar juga diuntungkan karena adanya penghasilan tambahan yang cukup besar. Selain itu, sistem tersebut berhasil memacu tumbuh-kembangnya pertanian organik di wilayah tersebut. Hal lain yang menarik adalah adanya hewan ternak sapi yang dipelihara oleh penduduk sekitar dengan cara dilepas secara liar di areal TPA untuk mencari makanan sendiri. Sapi-sapi ini pada pagi hari keluar sendiri dan pada waktu magrib masuk kembali ke kandangnya masing-masing. Berdasarkan penelitian dari WHO, temyata susu, tidak tercemar oleh kotoran yang berasal dari sampah. Jumlah sapi pada tahun 1995 mencapai 1.000 ekor. Sapi tersebut menghasilkan susu dan daging bagi penduduk sekitar yang tadinya adalah para pemulung.
Pada awal pembangunan TPA, penduduk yang tinggal di pinggir sebelah kiri dan kanan jalan menuju TPA adalah pemulung yang diimpor dari daerah lain. Pemulung tersebut diberikan gubuk sederhana (settlement) oleh pemda setempat. Kini gubuk-gubuk tersebut telah berubah menjadi rumah bata dan hampir setiap rumah memiliki motor. Anak-anaknya pun disekolahkan di perguruan tinggi. Setiap pagi hari, berpuluh-puluh truk parkir di sepanjang jalan menuju TPA melakukan transaksi bisnis jual-beli material selain sampah, seperti kertas/karton, besi, plastik, kaleng, dan aluminium. Model ini ternyata bisa dijadikan contoh cara pengelolaan sampah yang berhasil karena terasa manfaatnya bagi masyarakat tingkat rendah, di samping juga dapat mengatasi masalah lingkungan.

4.    Daerah lainnya
Di beberapa kota di Jawa Barat yang penduduknya tidak begitu padat dan memiliki topografi lembah dan pegunungan seperti di Kota Kuningan, Sumedang, Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya, sampahnya dibuang ke lembah. Cara tersebut juga dianut pada kota lainya di Jawa Tengah dan Jawa Timur karena cukup efektif dan murah.
Di Jogyakarta, pengolahan sampah dilakukan dengan cara tumpukan dan dilengkapi dengan unit pengolahan sampah masinal (mesin) yang dikelola oleh pemda setempat. Cara tumpukan telah dilakukan secara profesional. Di Malang, TPA cara tumpukan dibangun dengan bantuan dana asing dan dirancang secara modern dengan mengambil lokasi di suatu lembah. Di Bogor, terutama TPA di daerah Gunung Galuga, Leuwiliang, juga menggunakan cara tumpukan, tetapi karena tingginya curah hujan maka sampah kota memerlukan waktu cukup lama untuk pembusukannya. Model incinerator yang diimpor dari Perancis pernah dicoba, tetapi akhimya kembali gagal seperti di Surabaya. Di Bandung kasusnya sama dengan DKI Jakarta, yaitu kemampuan TPA di daerah Lembang sudah tidak bisa mengatasi volume sampah yang begitu besar, di samping cuaca yang sangat dingin sehingga pembusukan berjalan sangat lambat.

0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates